Belum juga ayam jantan ambil suara di pagi hari. Matamu sudah jelalatan meraih mukena, setelah raut mukamu merona tersadar oleh percik air wudlu. Kamu gelar sajadah. Sebentar saja dialogmu dengan Tuhan lancar bergulir.
Pagi kian merunduk di ujung-ujung dedaunan pohon Asem Londo. Mengkonversi energinya menjadi embun yang tergulir, jatuh menyegarkan bumi. Langkah kantukmu membawamu ke meja biasa kamu mengukir nasib dan merencanakan masa depan. Buku-buku berserakan. Alat tulis terberai tak beraturan. Lembaran kertas tercecer memenuhi separuh meja dan ruangan itu.
Satu persatu kamu punguti dan tata rapi lalu kamu kemas ke dalam tas. Tak luput kebutuhanmu bertempur dimedan nasib, rampung sudah. Menghela nafas, ketika semua rapi dan bersih. Semua sudah kamu benahi semua sudah kamu siapkan.
Tak ubahnya perempuan biasa, perempuan kebanyakan. Tidak ditemui kontaminasi dewa dewi atau aparatur langit. Tak ubahnya sejenismu yang lain, berdaging, bernyawa, berakal, berhati dan punya banyak cinta.
Yah cinta. Kamu selalu suka bicara cinta. Entah melalui peluh, entah lewat transformasi keyakinan, entah terbentur degradasi kepercayaan namun sering cintamu datang dari tetes embun dimatamu. Karena cinta juga, kamu relakan waktumu menua dijemput nasib peradaban dan menghidupi hidup. Bukan hidupmu saja yang kamu rangsang kehidupannya. Namun hidup yang lain. Kehidupan orang-orang yang kamu cintai. Mereka..
Gelayut dedaunan menari disela dansa desir angin pagi. Matahari kian merayap di dinding cakrawala. Geliat kota meringsek menghantam para pemujanya untuk segera bertempur satu lawan satu.
Tas sudah kamu jinjing. Bajumu sederhana, balutan menawan dan elok pas di tubuhmu. Semerbak wangi melambung berbaur udara gersang. Di atas motor kamu terdiam. Bukan merapal doa. Tapi mencoba menerka-nerka senyum yang memparasi raut mukamu. Lirih kamu berkata.
"Aku bahagia.."
Pagi kian merunduk di ujung-ujung dedaunan pohon Asem Londo. Mengkonversi energinya menjadi embun yang tergulir, jatuh menyegarkan bumi. Langkah kantukmu membawamu ke meja biasa kamu mengukir nasib dan merencanakan masa depan. Buku-buku berserakan. Alat tulis terberai tak beraturan. Lembaran kertas tercecer memenuhi separuh meja dan ruangan itu.
Satu persatu kamu punguti dan tata rapi lalu kamu kemas ke dalam tas. Tak luput kebutuhanmu bertempur dimedan nasib, rampung sudah. Menghela nafas, ketika semua rapi dan bersih. Semua sudah kamu benahi semua sudah kamu siapkan.
Tak ubahnya perempuan biasa, perempuan kebanyakan. Tidak ditemui kontaminasi dewa dewi atau aparatur langit. Tak ubahnya sejenismu yang lain, berdaging, bernyawa, berakal, berhati dan punya banyak cinta.
Yah cinta. Kamu selalu suka bicara cinta. Entah melalui peluh, entah lewat transformasi keyakinan, entah terbentur degradasi kepercayaan namun sering cintamu datang dari tetes embun dimatamu. Karena cinta juga, kamu relakan waktumu menua dijemput nasib peradaban dan menghidupi hidup. Bukan hidupmu saja yang kamu rangsang kehidupannya. Namun hidup yang lain. Kehidupan orang-orang yang kamu cintai. Mereka..
Gelayut dedaunan menari disela dansa desir angin pagi. Matahari kian merayap di dinding cakrawala. Geliat kota meringsek menghantam para pemujanya untuk segera bertempur satu lawan satu.
Tas sudah kamu jinjing. Bajumu sederhana, balutan menawan dan elok pas di tubuhmu. Semerbak wangi melambung berbaur udara gersang. Di atas motor kamu terdiam. Bukan merapal doa. Tapi mencoba menerka-nerka senyum yang memparasi raut mukamu. Lirih kamu berkata.
"Aku bahagia.."
Wow..! Ternyata engkau bermukena..!
ReplyDeleteiki fiksi po piye, bahasamu prosa bgt toh mass
ReplyDelete