Skip to main content

Memetik

Tubuhku terpental seratus langkah dari titik temu itu. Jika ada pilihan lain, mungkin ku pilih dicincang Gueletin atau sejanta holocus sekalian. Daripada serpihanku terpelanting kesana kemari. Terkoyak tak sempat mengaduh. Bisakah aku terkulai dengan cara yang terindah? Ini yang biasa disebut dengan misteri, semuanya begitu berkabut dan tak jelas.

Satu jam berlalu, Rani tak juga diam dari tangisnya. Sepatu yang dijemur dihalaman depan, raib begitu saja. Kado ulang tahun papanya itu Rani terima ketika menjuarai turnamen bola pingpong tingkat kelurahan di kampungnya. Bahagia bukan kepalang ketika bungkus kado itu dibuka dan berisi sepatu yang hampir setahun ini Rani berharap memilikinya. Memakainya ketika bersekolah, memamerkannya ketika bersama kawan dan sobat dan memandanginya sebagai pengantar tidur. Namun halaman itu tak ada lagi sepatu kado papa. Hanya taman dengan pemandangan yang hampa tanpa sepatu kesayangan.


Tidak ada yang mau mengaku. Atau bersumpah siapa yang telah melakukan perbuatan itu. Semua saling teriak menyalahkan. Semua mencari aman. Dan semua mencoba menggali alibi paling jitu. Aryo tak pedulikan semua itu dibopongnya tubuh mungil bersimbah darah itu. Mengaduh lirih seakan tak sisakan lagi tenaga untuk meronta sakit. Dalam dekapan Aryo si tubuh mungil terkulai lemas. Didalam mobil sedan hitam membelah kota menuju Rumah Sakit.

Gemuruh suara kereta melaju cepat. Riuh pedagang pasar mengamankan diri. Kenapa semua orang bicara tanpa suara. Apakah karena suaraku ditelan deru mesin kereta itu? Kalian tak dengar rintihanku? Dan kenapa pelataran ini serasa panas. Lengket dipipi dan keningku, cairan apa ini? Tolong bantu aku berdiri, aku tak ingin tidur disini. Ini bukan kamarku ini bukan rumahku. Dan ibu? Dimana ibuku?? Kenapa kalian tak menjawab pertanyaanku. Aku harus pulang. Aku harus sampai rumah.. Dan aku butuh uang. Dimana sepatuku? Kalian lihat sepatuku? Kalian lihat sepatuku?! Dimana sepatuku?

AWAS KERETAAAAA!!!!!  Semua orang berhamburan, menuju ke arah teriakan itu. Teriakan yang disusul dengan suara jeritan ibu-ibu pedagang pasar.

"kamu harus tenang dek, kamu harus segera ke rumah sakit!"

BRAKK!! Tak hiraukan sepeda yang terjerembab ditaman dan mengabaikan suara ibu yang memanggil namanya, Rani bergegas berlari ke jalan. Tercekat tak berani mendekat diam tak mampu bergerak. Melihat tangan mungil yang keluar dari kolong mobil sedan hitam. Tersadar untuk segera minta tolong ketika seorang tubuhnya tersenggol seorang pemuda yang berlari ke arah mobil sedan itu " Maaf!"

Orang-orang berhamburan mendekat, berkerumun. Seisi mobil sedan keluar dan saling berteriak mencari aman. Mencari kesalahan dan saling mengkreasi alibi.

"anak itu berlari ke tengah jalan!"
"Yang saya tau pemuda itu lari melompat pagar, ke arah pasar itu!"

***

Seorang pemulung ketiban untung. Nampaknya rel kereta api menjawab permintaanya. Diusapnya noda darah kering dari sepatu itu. Toleh kanan kiri mencari pasangannya. Dan.. Mukanya nampak sumringah ketika dilihatnya pasangan sepatu itu seratus langkah tak jauh dari sepasang yang lain.

Comments

Post a Comment

HALLLOOWW!!!

Popular posts from this blog

Cara Mengenali Ayam Kate Ceper Dengan Mudah

Cara mengenali ayam kate ceper dengan mudah . Bagi yang sudah berpengalaman memilihara ayam kate , tentu saja merupakan suatu hal yang mudah untuk mengenali ayam kate ceper. Namun bagi yang baru saja tertarik dengan ayam kate, tentu saja sering terjadi kesalahpahaman mengenai ayam kate ceper. Ceper identik dengan suatu hal yang pendek atau hampir menyentuh tanah. Begitu pula dengan ayam kate. Ceper melekat pada ayam kate dengan ukuran kaki yang sangat pendek. Pendek kaki ayam kate ceper adalah 3cm, yaitu dihitung dari tumit bagian belakang sampai dengan telapak kaki ayam tersebut. Yang kedua adalah dengan sekilas saja. Body atau tubuh ayam kate ceper cenderung hampir menyentuh tanah. Apalagi ketika mereka berjalan. Sangat terlihat sekali ayam kate ceper berjalan seperti merayap diatas tanah. Untuk lebih jelasnya berikut video tentang Ayam Kate Ceper di Kandang Temblok Menceng Jogja.

BUABI!

BABI! Wah kata yang satu ini emang, kudu, musti, harus, wajib, a must, dihindari. Apalagi dengan artikulasi yang tegas, jelas, lugas dan kecampur sedikit emosi yang gak pada tempatnya(emang emosi ngeliat tempat?). Kenapa? Nama binatang ngaten loh! dilontarkan ke muka orang. mending kalo kupu2, kunang2, siput laut to merak. Lha ini Babi yang notabene, terkait dengan hal2 yang jorok (bagi yang ngebayangin seperti itu), Haram (bagi yang memberlakukan seperti itu) dan struktur wajah yang gak banget (bagi yang beranggapan seperti itu). Heran, ternyata umpatan BABI masih ada ya. Apa masih jadi TOP LIST PISUHAN a.k.a. UMPATAN sepanjang masa? Buatku sih gak jadi soal, lha wong masih sesama makhluk hidup. BWAKAKAKKAKAK!! Tapi buatku bukan masalah ngumpatnya. Tapi kenapa harus BABI! Kenapa gak sendok, piring, lap meja, cangkul, to ganjal ban. Kan masih banyak tuh apa yang disebut benda. Yang gak bernyawa. Yang bukan karyaNYA. PISS! Tapi ada gak sih yg ngumpat SENDOK LO! DASAR SANDAL JEPIT! Jaran...

Sadness Is My Radar

Terlalu lama aku menunggumu membawa pisang goreng. Sesuai kesepakatan kita, aku kopi dan kau pisang goreng. Lalu lama kita akan bercengkrema di bangku ini. Namun ini sudah lebih dari jam 10 pagi. Kau tak kunjung datang. Biasanya langkahmu kau seiiringi dengan cericau lagu lihat kebunku, walo kacau tapi asik di kala pagi. Namun... tetaplah namun... belum selesai..