Kaki ini terpaku, pasir menenggelamkan sebatas tumit. Air laut bergulung menepi. Lembut menyentuh jemari kaki. Lalu pergi membawa kembali apa yang diberikannya. Menyisakan jejak-jejak yang tak ada.
Sisa waktu jatuh berdegum di bulir-bulir pasir. Pingsan dan tak bicara lagi. Dongeng akan kehebatan sebuah persahabatan dan cerita-cerita di lontar-lontar rapuh, hari ini aku baca kembali.
Angin telah memaksa air bergemuruh membantai tepian pasir. Senja tak lagi berpantun dengan malam. Mungkin separuh bulan yang terlahap batara kala terpasung di balik sepasukkan awan.
Dan aku serta mitos sebuah kenangan adalah nyata, berdiri sendiri, disini bersama sapuan ombak yang terburu-buru pulang ke lautan.
***
Teruntuk kawan-kawanku. Nyawa memaksa tubuhmu berjingkrak resah menerima kenyataan, bahwa hidup tidak senikmat semangkuk mie Ayam Purworejo. Atau semanis segelas kopi hitam Bonbin. Ada brotowali yang tercelup didalamnya, mempertahankan hidup sebaik mungkin.
Kawan sampai saat ini aku lihat kalian sudah sebaik-baiknya menjalankan peran sebagai seekor manusia. Mahkluk yang katanya paling sempurna dari kucing, kodok, atau kecoa.
Kesempurnaan itu sudah kalian raih. Walau kadang harus tersayat waktu. Tergores dalam aturan dunia. Dan terpenggal keputusan kodrati. Tapi tegar dan berdiri sendiri dengan kelumpuhanmu, membuatku ingin mengiba satu permintaan. Kapan kalian istirahat sejenak. Meregang kemerdekaan mulut tuk bersenandung keresahan, kesetiaan, luka, dendam dan tawa ala kadarnya.
Atau duduk santai di basahnya rumput Telomoyo. Memuji nikmatnya secangkir kopi hitam. Yang kita sedu dengan sederhana. Atau semanci mie instan untuk kita lahap ala kadarnya. Itu saja lalu kita bicara apapun.
Apapun selain hilang dari waktu dan berlari di belantara kesendirian. Kamu yang pilih kawan, aku menunggu.
Teruntuk teman-teman di rimba-rimba rutinitas. Jogja masih utuh! Masih lucu! Masih mesra seperti apa yang kamu inginkan.
Sisa waktu jatuh berdegum di bulir-bulir pasir. Pingsan dan tak bicara lagi. Dongeng akan kehebatan sebuah persahabatan dan cerita-cerita di lontar-lontar rapuh, hari ini aku baca kembali.
Angin telah memaksa air bergemuruh membantai tepian pasir. Senja tak lagi berpantun dengan malam. Mungkin separuh bulan yang terlahap batara kala terpasung di balik sepasukkan awan.
Dan aku serta mitos sebuah kenangan adalah nyata, berdiri sendiri, disini bersama sapuan ombak yang terburu-buru pulang ke lautan.
***
Teruntuk kawan-kawanku. Nyawa memaksa tubuhmu berjingkrak resah menerima kenyataan, bahwa hidup tidak senikmat semangkuk mie Ayam Purworejo. Atau semanis segelas kopi hitam Bonbin. Ada brotowali yang tercelup didalamnya, mempertahankan hidup sebaik mungkin.
Kawan sampai saat ini aku lihat kalian sudah sebaik-baiknya menjalankan peran sebagai seekor manusia. Mahkluk yang katanya paling sempurna dari kucing, kodok, atau kecoa.
Kesempurnaan itu sudah kalian raih. Walau kadang harus tersayat waktu. Tergores dalam aturan dunia. Dan terpenggal keputusan kodrati. Tapi tegar dan berdiri sendiri dengan kelumpuhanmu, membuatku ingin mengiba satu permintaan. Kapan kalian istirahat sejenak. Meregang kemerdekaan mulut tuk bersenandung keresahan, kesetiaan, luka, dendam dan tawa ala kadarnya.
Atau duduk santai di basahnya rumput Telomoyo. Memuji nikmatnya secangkir kopi hitam. Yang kita sedu dengan sederhana. Atau semanci mie instan untuk kita lahap ala kadarnya. Itu saja lalu kita bicara apapun.
Apapun selain hilang dari waktu dan berlari di belantara kesendirian. Kamu yang pilih kawan, aku menunggu.
Teruntuk teman-teman di rimba-rimba rutinitas. Jogja masih utuh! Masih lucu! Masih mesra seperti apa yang kamu inginkan.
Mie sak panci...????
ReplyDeletemelu...
ReplyDeletehemmm....
ReplyDelete