Kamu bilang pemandangannya jelek. Aku bilang tinggal bagaimana melihatnya. Ku bilang itu indah. Kau mempertanyakan alasannya. Ku jawab karena mataku terlanjur buta oleh bibir tipis bergincu itu ataukah mata hatiku yang keterlaluan mengkonsumsi wortel? Entahlah kamu sempurna sore itu.
Gemericik hujan. Salah satu bulirnya menyambar pipiku. Terkesiap dan sadar, mukaku sudah menghujam meja ini selama beberapa menit. Kantuk, lelah dan rindu berkumpul dan bersekte.Jika terlanjur, mungkin ini akan menjadi bahasan tentang mimpi dan bunga-bunga yang lain. Bukan tentang meredeemm hati. Terimakasih bulir hujan.
Tidak lebih dari dua jam kita hanya duduk berdua. Pembicaraan kita tidak banyak. Karena maaf parasmu terlalu menyita perhatian. Dan sekali lagi senyummu membuat mulutku tersesat dan polahmu layaklah memenggal lidahku dan diam. Sorepun akan merunduk mencahayaimu, kamu bersinar.
Lalu ku bisikan sebuah kata ditelingamu..
Inilah labirin dengan warna-warnanya. Inilah kebingungan tentang sebuah koordinat titik temu. Aku putuskan berhenti di suatu tempat dengan petunjuk kompas keyakinan.
Tempat itu tak banyak yang berubah. Tetap dengan langit yang sama, matahari yang sama tanah yang sama dan suasana riuh rendah yang nyaris sama.
Kamu bilang cuaca bertingkah. Melambaikan pepohonan diluar sana. Ku tak menjawab karena aku sedang terpikat. Kamu bilang semua yang melekat ditubuh kurang maksimal, kurang dan kurang karena kamu pikir ini malam spesial. Ku bercericau, lupakan itu karena kamu cantik sedari hatiku pingsan oleh mimik wajahmu. Oksigen begitu menipis. Kurahasiakan saat itu tubuhku berjuang mencari sela-sela bocornya semangat.
Obat tak bekerja dengan baik.
Aku sakit waktu itu.
Entah setan mana yang mempengaruhiku memesan segalas kopi hitam. Lupa kalo jantungku mulai rewel minta dipeluk. Ini segelas kopi yang kedua. Dipelataran tempat itu aku menjamu diriku. Inilah rumput dimana biasa aku bernostalgia dengan siapa aku dan sebaik-baiknya aku eksis.
Yap benar-benar ini dialog gila. Ketika seorang perempuan menghampiriku dan bercerita sisa cerita sebelum dia masuk ke jurang lupa ingatan.
Tak kalah gila aku pun menjelma sewaras dia. Kami pun bertukar kata. Kata yang sederhana. Tidak jauh-jauh dari sebuah kegembiraan dan sesal. Lalu dia pergi melangkah, matanya sayu, jauh menebar ketidakjelasan dengan langkah gontai mondar mandir didepanku. Ku nikmati saja, toh dia juga makhluk yang pantas untuk tetap hidup. Ku bertanya apa yang dia pikirkan ya? Lalu..
Mataku tak bisa meloloskan diri. TIdak mudah berpura-pura mengingkari kamu adalah keindahan. Ataukah tiap detik yang melingkari waktu ku habiskan membisu dan memujamu lewat batin dan jiwaku? Tidak ini tidak mungkin menjadi dialog afeksi yang ku inginkan. Bukan ini yang ku mau, teralis keinginan ini harus aku luluh lantakkan. Aku bisa bicara dengan bahasa lain. Tanpa harus membuat keyakinanku cacat. ku mau.. kemudian..
Gemericik hujan. Salah satu bulirnya menyambar pipiku. Terkesiap dan sadar, mukaku sudah menghujam meja ini selama beberapa menit. Kantuk, lelah dan rindu berkumpul dan bersekte.Jika terlanjur, mungkin ini akan menjadi bahasan tentang mimpi dan bunga-bunga yang lain. Bukan tentang meredeemm hati. Terimakasih bulir hujan.
Tidak lebih dari dua jam kita hanya duduk berdua. Pembicaraan kita tidak banyak. Karena maaf parasmu terlalu menyita perhatian. Dan sekali lagi senyummu membuat mulutku tersesat dan polahmu layaklah memenggal lidahku dan diam. Sorepun akan merunduk mencahayaimu, kamu bersinar.
Lalu ku bisikan sebuah kata ditelingamu..
Inilah labirin dengan warna-warnanya. Inilah kebingungan tentang sebuah koordinat titik temu. Aku putuskan berhenti di suatu tempat dengan petunjuk kompas keyakinan.
Tempat itu tak banyak yang berubah. Tetap dengan langit yang sama, matahari yang sama tanah yang sama dan suasana riuh rendah yang nyaris sama.
Kamu bilang cuaca bertingkah. Melambaikan pepohonan diluar sana. Ku tak menjawab karena aku sedang terpikat. Kamu bilang semua yang melekat ditubuh kurang maksimal, kurang dan kurang karena kamu pikir ini malam spesial. Ku bercericau, lupakan itu karena kamu cantik sedari hatiku pingsan oleh mimik wajahmu. Oksigen begitu menipis. Kurahasiakan saat itu tubuhku berjuang mencari sela-sela bocornya semangat.
Obat tak bekerja dengan baik.
Aku sakit waktu itu.
Entah setan mana yang mempengaruhiku memesan segalas kopi hitam. Lupa kalo jantungku mulai rewel minta dipeluk. Ini segelas kopi yang kedua. Dipelataran tempat itu aku menjamu diriku. Inilah rumput dimana biasa aku bernostalgia dengan siapa aku dan sebaik-baiknya aku eksis.
Yap benar-benar ini dialog gila. Ketika seorang perempuan menghampiriku dan bercerita sisa cerita sebelum dia masuk ke jurang lupa ingatan.
Tak kalah gila aku pun menjelma sewaras dia. Kami pun bertukar kata. Kata yang sederhana. Tidak jauh-jauh dari sebuah kegembiraan dan sesal. Lalu dia pergi melangkah, matanya sayu, jauh menebar ketidakjelasan dengan langkah gontai mondar mandir didepanku. Ku nikmati saja, toh dia juga makhluk yang pantas untuk tetap hidup. Ku bertanya apa yang dia pikirkan ya? Lalu..
Mataku tak bisa meloloskan diri. TIdak mudah berpura-pura mengingkari kamu adalah keindahan. Ataukah tiap detik yang melingkari waktu ku habiskan membisu dan memujamu lewat batin dan jiwaku? Tidak ini tidak mungkin menjadi dialog afeksi yang ku inginkan. Bukan ini yang ku mau, teralis keinginan ini harus aku luluh lantakkan. Aku bisa bicara dengan bahasa lain. Tanpa harus membuat keyakinanku cacat. ku mau.. kemudian..
Hmmmm...oya udeng...
ReplyDelete