Skip to main content

Relung

Bweh! Kesiangan! Benar aku kesiangan. Terlalu siang bahkan, Tapi tak mengapa, perubahan dan pergeseran alur matahari bukan jadi penghalang. Aku harus berangkat.

Tempat itu riuh. Tempat biasa aku duduk dengan meniup secangkir kopi panas. Ku putuskan pindah ke sudut yang lain. Ku pesan kopi dan menghajar mulut dan jantungku dengan segelas nikotin. Kantuk luar biasa ternyata tidak mempan ketika kopi mengguyur darah ini. Sejenak ku pilih tertidur. Biar segar biar kembali normal.


7 centi itu katamu. Ku hanya bisa tersenyum. Muka marahmu tak lagi berpengaruh untukku. Otakku terlalu sumpek dengan gelora ini. Entah api apa yang membakarnya. Entah apalagi yang menyulutnya. Yang bisa aku lakukan adalah diam dan menatapmu. Ini bukan sisa senyum, melainkan berjuta-juta senyum berbondong-bondong menyusup masuk. Bahagia.

Baiklah balas dendammu cukup mempesona. Dua perempuan serentak berjejer berbaris dengan kelakar tawa yang luar biasa membuatku mengendus kekian. Apa mungkin karena penampilanku yang mendekati wajah saru? Atau memang sudah menjadi keharusan ini adalah solo komedi? Entahlah sambut tawamu membuat itu semakin sempurna. Keki berat.

Detik melaju pelan menit bergerak ke belakang dan jam kian menemukan kebuntuan. Sepanjang alur bergulir. Tak hentinya gelegar tawa merancakkan suasana. Sesekali ku curi wajahmu yang tersenyum. Ku simpan dan ke selipkan dalam kantung hati yang terdalam. Dan sesekali lagi ku culik beberapa hembus nafasmu, ku ambil dan ku kantongi dalam jantungku. Kelak aku akan menuai mimpi terindah, pikirku.

Inilah bumi dengan langit sebagai tendanya. Bintang enggan melongok, karena mendung tipis berayunan diatas sana. Namun tak setitik airpun menggenang ke bumi. Mendadak Kau keluhkan angin tak normal. Berhenti dan lupa cara berhembus. Aku diam dan menatap. Lalu belum selesai diskusi cuaca, entah Keparat mana yang membuatmu menggila. Menyungkurkan aku dengan polahmu. Aku terpingkal dan terjungkal. Gelak tawa canda.

Namun jemari mengeram. Ada satu dua dan tiga cerita yang membuatmu mengepalkan tangan, geram. Inilah dirimu dengan sisi yang berbeda. Dirimu dengan segala batu-batu persoalan yang mungkin hanya kamu yang berhak memikulnya. Berhak memecahkannya. Aku diam dan menatap. Tak ada salahnya kamu untuk semarah itu. Luapkan.

Sekali lagi perut kita harus bergetar. Ujar amburadulmu membuat suasana senyap itu riuh gaduh. Gelak tawa canda sekali lagi.

Hmmm ini adalah catatan terakhir.. Mungkin kelak akan kamu buka disela waktumu yang melaju cepat. entahlah..

Comments

Popular posts from this blog

Ayam Kate Ceper

Kegandrungan masyarakat terhadap ayam hias akhir-akhir ini mulai menggeliat. Banyak alasan kenapa memilih ayam hias. Entah dari suara, bentuk ataupun warna ayam hias tersebut. Semua memiliki pesonanya sendiri-sendiri. Ayam kate adalah salah satu ayam hias. Hebatnya lagi Ayam Kate merupakan ayam hias asli milik Indonesia, bangga gak kita? Bangga dong! Mau tau sejarahnya cari aja di Google, banyak blog atau tulisan yang sudah mengulas tuntas tentang ayam kate . Disela hiruk pikuk ayam hias improt , ayam kate mencoba bertahan. Naik turunnya popularitas ayam kate sudah menjadi makanan sehari-hari bagi para peternak yang masih konsisten mencintai ayam kate (salut). Ayam kate ceper , nah perkembangan kesini ternyata isue ayam kate ceper menjadi fenomena sendiri. Entah imbas dari ayam kate Thailand atau Jepang, masyarakat pecinta kate saat ini mulai sadar bahwa ayam kate yang selama ini mereka pelihara adalah silangan dari kate disilang dengan srama atau biasa disebut Tema (kate s...

Sadness Is My Radar

Terlalu lama aku menunggumu membawa pisang goreng. Sesuai kesepakatan kita, aku kopi dan kau pisang goreng. Lalu lama kita akan bercengkrema di bangku ini. Namun ini sudah lebih dari jam 10 pagi. Kau tak kunjung datang. Biasanya langkahmu kau seiiringi dengan cericau lagu lihat kebunku, walo kacau tapi asik di kala pagi. Namun... tetaplah namun... belum selesai..

Sri

Berkali-kali aku teriak dari dalam bilik kecil ini. Perempuan bernama Sri Rahayu tak kunjung nongol. Memang aku terlalu capek, mungkin. Dan kemungkinan memang aku terlalu sombong, membiarkan pantat melekat di kursi ini. Seharusnya aku bangkit dan memanggil dengan nada santun. Namun tidak itu tidak aku lakukan. Biadabnya diriku ini. SRI RAHAYU!!! Teriakku. Perempuan itu muncul. Sekilas bayangan tubuhnya terpantul di kaca monitor. Tak ku hiraukan kehadirannya, perempuan itu aku suruh untuk mempersiapkan diri untuk diambil gambarnya.